Sunday, October 9, 2011

Transformasi Media

5 Oktober 2011
Dosen : Diah Ayu Sandra Ningrum (Jurnalis TEMPO)
Siapa diantara kita yang tidak mempunyai akun Facebook dan Twitter? Kita yang tidak memiliki akun dari dua media sosial tersebut pasti akan dipandang gaptek dan "ketinggalan zaman". Kedua nama tersebut sudah tidak asing lagi di kuping kita. Bahkan bayi berusia 2 tahun pun telah dibuatkan akun di Facebook oleh orang tua-nya, jangankan mengakses Facebook, berbicara saja belum lancar.



Transformasi media didukung dengan berkembangnya teknologi, yakni web.2.0.
web 2.0 adalah klasifikasi dari web yang membuat ‘semua orang’ yang terhubung ke web mampu menyediakan dan mendistribusikan konten (teks, grafis, dll) di web. Website yang membuat orang dapat berbagi konten di web dengan mudahnya (tidak perlu pengetahuan pemrograman web pun bisa berbagi data di web) adalah web 2.0: Blog, Photo Sharing (flickr), Video Sharing (YouTube), Presentation Sharing (Slideshare.net), Social Networking (facebook, myspace, friendster, linkedIn, etc) dll.

Transformasi membawa efek positif maupun negatif. Efek positif yang ditimbulkan oleh transformasi media diantaranya yaitu :
  1. Media penyebaran informasi. Informasi yang paling baru dapat dengan mudah menyebar melalui situs jejaring sosial.
  2. Sarana untuk mengembangkan ketrampilan dan sosial. Mengasah ketrampilan teknis dan sosial merupakan kebutuhan yang wahib dipenuhi agar bisa bertahan hidup dan berada dalam neraca persaingan di era modern seperti sekarang ini. Hal ini sangatlah penting, tidak ada batasan usia, semua orang butuh untuk berkembang.
  3. Memperluas jaringan pertemanan. Dengan menggunakan jejaring sosial, kita dapat bertemu dengan teman yang sudah lama tidak kita jumpai. Kita juga dapat berkenalan dengan orang-orang baru dari belahan dunia yang lain. Dengan ini, kita bisa menambah wawasan dan bertukar pikiran.
Dibalik semua efek positif diatas, terdapat juga efek negatif dari transformasi media :


  1. Kejahatan dunia maya (cyber crime). Kejahatan dunia maya sangatlah beragam, mulai dari carding, hacking, cracking, phising, dan spamming.
  2. Melemahkan dan menurunkan sensitifitas. Karena jejaring sosial, seseorang cenderung melupakan dunia nyata dan tenggelam di dalam dunia maya.
  3. Menyebabkan penyakit maag. Orang yang terlalu berlama-lama didepan komputer cenderung lupa makan. Tentu saja hal ini akan menyebabkan penyakit serius. Penyakit yang paling sering diderita pecandu internet adalah penyakit maag.

Media Massa dan Budaya Massa

28 September 2011
Dosen : Aminah Suwarna Wati


Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai dipergunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media.
Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah memiliki ketergantungan dan kebutuhan terhadap media massa yang lebih tinggi daripada masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi karena pilihan mereka yang terbatas. Masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih tinggi memiliki lebih banyak pilihan dan akses banyak media massa, termasuk bertanya langsung pada sumber atau ahli dibandingkan mengandalkan informasi yang mereka dapat dari media massa tertentu.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Media_massa

Media massa dapat memengaruhi khalayak melalui pesan-pesan yang disebarluaskannya. Media massa sangat efektif dalam mengubah sikap, pendapat dan perilaku komunikasi masyarakat.  Media massa dapat mempengaruhi khalayak dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pengaruh jangka pendek mungkin tidak terlalu dipermasalahkan, namun pengaruh jangka panjang yang sering dipersoalkan, karena mempunyai kekuatan tertentu yang dapat memengaruhi kebudayaan khalayak yang menerima pesan.

Media massa yang secara terus-menerus menyampaikan informasi kepada khalayaknya lama kelamaan akan membentuk budaya massa. Budaya massa adalah produk kebudayaan yang terus menerus direproduksi sekaligus dikonsumsi secara massal, sehingga industri yang tercipta dari budaya massa ini berorientasi pada penciptaan keuntungan sebesar-besarnya.

Fishwick dan Wilson mengakui bahwa budaya populer sebenarnya dapat diartikan sebagai bentuk budaya yang dimiliki oleh setiap orang dalam suatu masyarakat tertentu. Budaya tersebut dipengaruhi berbagai rangsangan dari luar (termasuk media massa) yang tidak kita sadari namun membuat kita melakukannya.

Budaya massa dapat muncul dalam bentuk mengikuti selera masyarakat secara beramai-ramai, memilih jenis produk seperti shampoo Pantene, sabun mandi Lux, pelembab Ponds, makan di Pizza Hut, minum kopi di Starbucks, mendengarkan musik pop/dangdut, menggunting rambut ala Demi Moore, menjagokan Argentina pada perebutan piala dunia dan sebagainya.




Dikaitkan dengan perkembangan media massa, Wilson (2002), membagi tahapan-tahapan perkembangan budaya pada :
  1. Tahap Elitis; Beberapa kurun waktu yang lampau, budaya masih dibedakan dalam kategori jelas, yaitu Budaya Elit (Elite Culture) yakni budaya dari orang-orang terdidik, aristokrat dan orang-orang kaya. Budaya elit kadang-kadang dikategorikan sebagai budaya tinggi (high culture). Hingga kurang dari 200 tahun yang lalu, terdapat perbedaan dan pemisahan antara high culture dan budaya lainnya yakni budaya kelas petani, yang dikenal dengan folk culture (budaya rakyat). Kelas elit, adalah orang-orang yang hidupnya dikelilingi seni, buku-buku dan musik klasik. Para petani dengan folk culture, berhubungan langsung dengan karnaval di jalan-jalan, lagu-lagu dan dongeng-dongeng rakyat.
  2. Tahap Populer; Pada abad ke-19, perbedaan antara Budaya Elit dan Budaya Rakyat menjadi kabur dengan dibangunnya demokrasi politik, pendidikan masyarakat secara massa dan Revolusi Industri. Kekuatan ini yang menciptakan Budaya Populer dan Budaya Massa. Penggunaan istilah Budaya Populer dilukiskan sebagai segala yang mengelilingi kehidupan kita setiap hari. Budaya Populer adalah budaya yang dengannya kita berpedoman terhadap busana, mode, dan seluruh kegiatan yang kita lakukan (Stan Le Roy Wilson, 2000: 5).
  3. Tahap Spesialisasi; Tahap spesialisasi dimulai di akhir abad XX ditandai dengan banyaknya terobosan media massa Amerika Serikat dalam mencapai tahap ini. Tahap ini digambarkan futurolog Alvin Toffler sebagai ”demassifikasi media massa”. Pada tingkatan ini, media massa dikonsumsi sepotong-sepotong oleh populasi, tiap-tiap orang dengan ketertarikan dan aktivitas budaya sendiri. Kondisi ini dimungkinkan dengan banyaknya pilihan masyarakat terhadap media, serta untuk televisi misalnya, orang dapat memilih program yang disenangi hanya dengan menekan remote kontrol.
Jika diteruskan maka budaya asli Indonesia akan meluntur. Oleh karena itu kita sebagai generasi muda harus pandai dalam menyaring budaya asing yang masuk ke Indonesia. Tidak semua budaya asing membawa efek negatif kepada kita, sikap selektif dan skeptis sangat diperlukan dalam memutuskan hal tersebut.

Anatomi Media Penyiaran

21 September 2011
Dosen : Paulus Widiyanto (Masyarakat Cipta Media, Anggota Komisi Penyiaran Indonesia)

Anatomi media penyiaran merupakan sebuah hal “dasar” namun wajib diketahui oleh setiap praktisi komunikasi yang nantinya akan berkecimpung juga dengan media massa.

Terdapat 10 dimensi anatomi media penyiaran :
1. Lembaga / Institusi : sebuah media penyiaran pasti dimiliki oleh suatu lembaga / institusi resmi (PT, Yayasan, Group, perusahaan, dan lain-lain).
2. Perizinan : dalam melakukan penyiaran harus mendapat izin yang legal secara hukum.
3. Kepemilikan : media penyiaran dimiliki oleh seseorang, beberapa orang atau badan hukum yang sah.
4. Isi / konten : isi yang disiarkan bisa berbeda-beda, mulai dari news, drama, dan non-drama, tergantung dari masing-masing media penyiaran.
5. Infrastruktur : untuk mendukung media penyiaran diperlukan pula sarana-sarana seperti antenna, satelit, pemancar, gelombang, dan kabel.
6. Organisasi Bisnis / Usaha : media penyiaran bisa memperoleh penghasilan dari iklan, langganan, dan saham.
7. SDM / Profesi : orang-orang yang bekerja di dalam media penyiaran itu sendiri, seperti redaktur, wartawan, reporter, cameramen, editor, dan lainnya.
8. Pasar / Market Area : media penyiaran harus menentukan target pasar yang diinginkan, mulai dari lokal, nasional, trans nasional ataupun global.
9. Audiences : media penyiaran memiliki segmentasi penonton, segmentasi tersebut ditentukan berdasarkan jenis kelamin dan usia.

10. Regulator : pengatur penyiaran di Indonesia, misalnya saja KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), pemerintah, dan KPPU (Komisi Pengawasan Perdagangan Usaha).

Komisi Pengawasan Perdagangan Usaha


Tujuan dari pengaturan / regulasi penyiaran tersebut adalah :

1. Tidak ada penyelewengan atau penyalahgunaan media dalam menyalurkan informasi (mencegah penyebaran informasi bersifat negatif atau merusak serta menyinggung SARA) sehingga kenyamanan publik dalam mengkonsumsi setiap tayangan informasi tetap terjaga.
2. Terciptanya keteraturan antara satu gelombang elektomagnetik dengan gelombang lainnya sehingga tidak terjadi bentrokan antara satu saluran dengan saluran lainnya ( mencegah intervensi / bentrokan yang dapat menyebabkan gangguan siaran/noise).
3. Mencegah sistem monopoli industri atau kepemilikan banyak saluran dikuasai oleh satu lembaga saja yang dapat menyebabkan tayangan terpaku pada selera pemilik.

Citizen Journalism

14 September 2011
Dosen : Agus Sudibyo (Dewan Pers Indonesia)


Jurnalisme warga (citizen journalism) adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Tipe jurnalisme seperti ini akan menjadi paradigma dan tren baru tentang bagaimana pembaca atau pemirsa membentuk informasi dan berita di masa mendatang.

Perkembangannya di Indonesia dipicu ketika pada tahun 2004 terjadi tragedi Tsunami di Aceh yang diliput sendiri oleh korban tsunami. Terbukti berita langsung dari korban dapat mengalahkan berita yang dibuat oleh jurnalis profesional.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Jurnalisme_warga


Semua orang bisa menjadi Jurnalisme Warga. Blogger pun bisa dikatakan telah melakoni profesi Jurnalisme Warga. Namun bukan berarti semua Blogger adalah bentuk Jurnalisme Warga. Sesuai dengan namanya, Jurnalisme, sudah pasti mengandung unsur jurnalistik di dalamnya. Ada nilai-nilai berita yang terkandung didalam penulisan Jurnalisme Warga:

1. Objektif; sesuai fakta.
2. Aktual; terbaru, belum "basi".
3. Luar biasa; aneh, besar, janggal, tidak umum.
4. Penting; pengaruh dan dampaknya bagi publik.
5. Jarak; familiaritas, kedekatan (geografis, kultural, psikologis).
6. Mengikuti kaidah jurnalistik 5W+1H.

Fenomena berkembangnya Jurnalisme Warga yang begitu cepat didukung oleh perkembangan media sosial yang sangat banyak dan interaktif (Facebook, Twitter, Blog, Youtube, dll). Tidak hanya disebabkan oleh perkembangan internet (media sosial), ada faktor lain yang mendukung perkembangan Jurnalisme Warga. Untuk mengakses internet dibutuhkan suatu alat, bisa melalui handphone, komputer, notebook, netbook, tablet pc. Handphone produksi China yang bisa dibeli dengan harga mulai dari Rp 200.000 sampai dengan harga netbook yang "miring", mempermudah orang-orang untuk mengakses internet.
Dengan menggunakan handphone produksi China seharga Rp 200.000, orang-orang bisa menulis tentang suatu kejadian di suatu tempat dimana mereka sedang berada di media sosial. Begitu murah dan mudahnya menulis suatu kejadian di dalam media sosial.

Di Indonesia, bentuk paling familiar dari jurnalisme publik adalah radio, karena sebagian besar penduduk Indonesia lebih mengenal radio ketimbang internet. Model pelaporan Radio Elshinta oleh pendengarnya melalui telepon, mendapat respon yang cukup bagus. Sembari menunggu kemacetan lalu lintas, warga saling bertukar informasi mengenai situasi lalu lintas. Dari sinilah variasi berita mulai berkembang makin meluas, dari berita lokal hingga berita nasional seperti tsunami. Kelahiran radio komunitas di berbagai pelosok daerah makin menguatkan posisi jurnalisme oleh warga semacam ini. Selain itu, ketika pengguna internet makin meluas, warga yang mempunyai akses makin menemukan saluran untuk menyampaikan pendapatnya. Tak heran jika bermunculanlah blog atau web yang menerapkan model jurnalisme warga. Diantaranya http://www.panyingkul.com, halamansatu.com, wikimu.com, kabarindonesia dan lain sebagainya

Tentu saja sebuah perkembangan akan memunculkan dampak positif maupun negatif. Perkembangan jurnalisme dalam konsep new media membawa beberapa dampak positif. Pertama, menigkatnya interaktivitas atau kemampuan publik untuk mencari informasi dan berinteraksi secara online. Kedua, meningkatnya akses publik ke bentuk dan jenis media yang berbeda. Ketiga, berkurangnya ‘kekuasaan gatekeeper’ lembaga media, hal tersebut sama saja menandai berkurangnya power media-media besar untuk menentukan agenda berita. Keempat, makin maraknya berita yang menggunakan metode bercerita (story-telling methods) melalui teknologi multi-media, sebagai alternatif dari model ‘berita langsung’. Kelima, konvergensi dalam pemberitaan bisa berarti lebih banyak sumber untuk menginvestigasi isu bagi para pembaca, karena tidak lagi tergantung pada media dominan.

Dampak negatif yang kemudian timbul adalah meningkatnya jurnalisme pernyataan, opini dan rumor tanpa bukti yang bisa merusak kredibilitas jurnalistik karena minimnya self-control, karena tidak adanya ‘gate keeper’. Kedua rendahnya standar etika jurnalisme yang ditandai maraknya cerita yang hanya mengedepankan aspek sensasional. Ketiga, maraknya komplain publik tentang pelanggaran privasi pribadi oleh media. Keempat, devaluasi profesi jurnalis, karena setiap orang bisa disebut jurnalis, ketika ia bisa mengeluarkan liputan. Kelima, kebingungan berkaitan dengan nilai berita dan layak berita. Kekuatiran itu muncul karena kurang dipahaminya kode etik jurnalistik oleh reporter warga seperti objektivitas, adil dan seimbang, menjunjung tinggi kebenaran, cek dan ricek dan tidak meniru.


Foto : Demonstrasi Hari Anti-Korupsi Dunia 12/9/2009 (Timotheus Febrianto)


Persepsi Tentang Perempuan Dalam Dunia Komunikasi

7 September 2011
Dosen : Henny Wirawan (Dekan Fak. Psikologi Untar)

Perjuangan Bu Kartini dalam "menaikkan" derajat perempuan tidaklah sia-sia. Hal itu bisa dibuktikan dengan perempuan yang mendominasi media massa dibandingkan laki-laki. Baik pembaca berita, iklan, presenter, reporter, penyiar radio, mayoritas adalah kaum hawa.

Banyak persepsi yang muncul  di benak publik mengenai peran dan sosok perempuan di dalam dunia komunikasi . Mulai dari yang "manis', hingga yang "pahit".


Persepsi positif yang muncul yaitu :

- Perempuan sudah bisa go public. Dahulu perempuan hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, namun perempuan kini sudah bisa bekerja di sektor publik seperti laki-laki.

- Perempuan menjadi pemimpin. Sebagai contoh yaitu mantan presiden Ibu Megawati Soekarno putri.

- Perempuan lebih ber-edukasi dan lebih rajin dibandingkan laki-laki.

- Keikutsertaan perempuan dalam dunia sosial dan politik.

- Faktor 3B (brain, beauty, behavior) menjadikan perempuan sebagai duta negara seperti Putri Indonesia, Duta Pariwisata, Miss Universe, dll.

- Perempuan sudah bisa mengungkapkan hal-hal yang dahlu dianggap sebagai tabu, khususnya masalah seks.

- Perempuan sebagai simbol feminin, anggun, indah (http://dzackidotcom.wordpress.com/2010/09/17/10-presenter-pembaca-berita-di-tv-swasta-indonesia-tercantik/).

- Perempuan lebih berani membuka mulut untuk menyuarakan keinginannya. Melepaskan diri dari permasalahan gender yang selama ini mengikat kaum hawa.

- "Dibalik pria hebat, ada perempuan hebat yang mendukungnya." menjadi salah satu ungkapan pentingnya peran dan sosok perempuan dalam kehidupan, khususnya laki-laki.

Inilah Pasukan Perawan yang Lindungi Khadafi (http://batam.tribunnews.com/2011/03/24/inilah-pasukan-perawan-yang-lindungi-khadafi)

Mari kita tengok persepsi negatif yang muncul mengenai perempuan :

- Ekspos seksualitas dalam media, hal ini dilakukan dengan tujuan menarik minat lawan jenis.

- Bias gender yang dialami perempuan dalam kasus pelecehan seksual. Sebagai contohnya, perempuan berpakaian minim yang diperkosa oleh supir angkutan umum. Publik justru menyalahkan perempuan tersebut yang mengenakan busana minim. Padahal yang seharusnya disalahkan adalah sang pelaku pemerkosaan, yakni si supir angkutan umum.

- Dalam iklan, perempuan dijadikan objek pemanis hasrat dan nafsu supaya publik membeli barang atau jasa yang diiklankan.

- Citra perempuan sebagai sosok yang amat sangat "gila" belanja dijadikan target marketing oleh beberapa pihak dengan cara menurunkan harga jual.

- Ada anggapan yang muncul bahwa jika seorang istri berpenghasilan lebih besar dibandingkan sang suami, istri tersebut telah meremehkan suami-nya.

- Perempuan masih terjerat oleh aturan-aturan di budaya tertentu yang mengekang kebebasan perempuan.

- Kurangnya kesempatan terhadap perempuan sebagai sosok pengambil keputusan.

Semoga perempuan juga bisa merasakan kebebasan yang selama ini dirasakan oleh laki-laki.