Sunday, October 9, 2011

Citizen Journalism

14 September 2011
Dosen : Agus Sudibyo (Dewan Pers Indonesia)


Jurnalisme warga (citizen journalism) adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Tipe jurnalisme seperti ini akan menjadi paradigma dan tren baru tentang bagaimana pembaca atau pemirsa membentuk informasi dan berita di masa mendatang.

Perkembangannya di Indonesia dipicu ketika pada tahun 2004 terjadi tragedi Tsunami di Aceh yang diliput sendiri oleh korban tsunami. Terbukti berita langsung dari korban dapat mengalahkan berita yang dibuat oleh jurnalis profesional.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Jurnalisme_warga


Semua orang bisa menjadi Jurnalisme Warga. Blogger pun bisa dikatakan telah melakoni profesi Jurnalisme Warga. Namun bukan berarti semua Blogger adalah bentuk Jurnalisme Warga. Sesuai dengan namanya, Jurnalisme, sudah pasti mengandung unsur jurnalistik di dalamnya. Ada nilai-nilai berita yang terkandung didalam penulisan Jurnalisme Warga:

1. Objektif; sesuai fakta.
2. Aktual; terbaru, belum "basi".
3. Luar biasa; aneh, besar, janggal, tidak umum.
4. Penting; pengaruh dan dampaknya bagi publik.
5. Jarak; familiaritas, kedekatan (geografis, kultural, psikologis).
6. Mengikuti kaidah jurnalistik 5W+1H.

Fenomena berkembangnya Jurnalisme Warga yang begitu cepat didukung oleh perkembangan media sosial yang sangat banyak dan interaktif (Facebook, Twitter, Blog, Youtube, dll). Tidak hanya disebabkan oleh perkembangan internet (media sosial), ada faktor lain yang mendukung perkembangan Jurnalisme Warga. Untuk mengakses internet dibutuhkan suatu alat, bisa melalui handphone, komputer, notebook, netbook, tablet pc. Handphone produksi China yang bisa dibeli dengan harga mulai dari Rp 200.000 sampai dengan harga netbook yang "miring", mempermudah orang-orang untuk mengakses internet.
Dengan menggunakan handphone produksi China seharga Rp 200.000, orang-orang bisa menulis tentang suatu kejadian di suatu tempat dimana mereka sedang berada di media sosial. Begitu murah dan mudahnya menulis suatu kejadian di dalam media sosial.

Di Indonesia, bentuk paling familiar dari jurnalisme publik adalah radio, karena sebagian besar penduduk Indonesia lebih mengenal radio ketimbang internet. Model pelaporan Radio Elshinta oleh pendengarnya melalui telepon, mendapat respon yang cukup bagus. Sembari menunggu kemacetan lalu lintas, warga saling bertukar informasi mengenai situasi lalu lintas. Dari sinilah variasi berita mulai berkembang makin meluas, dari berita lokal hingga berita nasional seperti tsunami. Kelahiran radio komunitas di berbagai pelosok daerah makin menguatkan posisi jurnalisme oleh warga semacam ini. Selain itu, ketika pengguna internet makin meluas, warga yang mempunyai akses makin menemukan saluran untuk menyampaikan pendapatnya. Tak heran jika bermunculanlah blog atau web yang menerapkan model jurnalisme warga. Diantaranya http://www.panyingkul.com, halamansatu.com, wikimu.com, kabarindonesia dan lain sebagainya

Tentu saja sebuah perkembangan akan memunculkan dampak positif maupun negatif. Perkembangan jurnalisme dalam konsep new media membawa beberapa dampak positif. Pertama, menigkatnya interaktivitas atau kemampuan publik untuk mencari informasi dan berinteraksi secara online. Kedua, meningkatnya akses publik ke bentuk dan jenis media yang berbeda. Ketiga, berkurangnya ‘kekuasaan gatekeeper’ lembaga media, hal tersebut sama saja menandai berkurangnya power media-media besar untuk menentukan agenda berita. Keempat, makin maraknya berita yang menggunakan metode bercerita (story-telling methods) melalui teknologi multi-media, sebagai alternatif dari model ‘berita langsung’. Kelima, konvergensi dalam pemberitaan bisa berarti lebih banyak sumber untuk menginvestigasi isu bagi para pembaca, karena tidak lagi tergantung pada media dominan.

Dampak negatif yang kemudian timbul adalah meningkatnya jurnalisme pernyataan, opini dan rumor tanpa bukti yang bisa merusak kredibilitas jurnalistik karena minimnya self-control, karena tidak adanya ‘gate keeper’. Kedua rendahnya standar etika jurnalisme yang ditandai maraknya cerita yang hanya mengedepankan aspek sensasional. Ketiga, maraknya komplain publik tentang pelanggaran privasi pribadi oleh media. Keempat, devaluasi profesi jurnalis, karena setiap orang bisa disebut jurnalis, ketika ia bisa mengeluarkan liputan. Kelima, kebingungan berkaitan dengan nilai berita dan layak berita. Kekuatiran itu muncul karena kurang dipahaminya kode etik jurnalistik oleh reporter warga seperti objektivitas, adil dan seimbang, menjunjung tinggi kebenaran, cek dan ricek dan tidak meniru.


Foto : Demonstrasi Hari Anti-Korupsi Dunia 12/9/2009 (Timotheus Febrianto)


No comments:

Post a Comment